Bab Bejana-Bejana (12-17)
BAB BEJANA-BEJANA (12-17)
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Tulisan ini merupakan syarah dan takhrij terhadap kitab Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Merupakan kelanjutan dari rubrik hadits yang pernah kami muat pada edisi lima dan enam. Dan Insya Allah akan kami muat secara berseri. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kami dan juga Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam menuangkan tinta penanya untuk pembaca.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِأخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِيْ لَفظٍ لَهُ: فَلْيُرِقْهُ” وَلِلتِّرْمِذِيِّ: “أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
12. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya sebanyak tujuh kali, dan yang pertama dengan tanah.” (Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu lafazhnya “Hendaklah ia membuang air yang di bejana tersebut”. Dan dalam riwayat Tirmidzi dengan lafazh “Salah satu bilasannya dengan tanah atau yang pertamanya”).
TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Telah diriwayatkan oleh Muslim (1/162); Abu Dawud (no.71); Tirmidzi (no.91); Nasa’i (1/178); Ahmad (no.2/265,427,489,508) dan lain-lain banyak sekali, yang salah satu lafazhnya seperti tersebut di atas . Dalam lafazh Tirmidzi:
أُوْلاَهُنَّ أَوْ أُخْرَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Yang pertama atau salah satunya dicampur dengan tanah.
Kemudian Abu Dawud, dalam salah satu riwayatnya (no.72); Tirmidzi (no.91); Thahawi di kitabnya Syarah Ma’a-nil Atsar (1/19-20); Daruquthni (1/64,67,68) dan Baihaqi (1/247-248) memberikan tambahan.
……وَإِذَا وَلَغَتْ فِيْهِ الْهِرَّةُ غُسِلَ مَرَّةً
…… dan apabila air di dalam bejana tersebut dijilat oleh kucing, dicuci satu kali.
Tambahan ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Thahawi, Daruquthni, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Albani.
Kemudian, hadits di atas tanpa tambahan “yang pertama dicampur dengan tanah”, telah diriwayatkan juga oleh Imam Malik, Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad dan lain-lain banyak sekali dengan lafazh:
إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا.
Apabila anjing meminum (air) di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.
FIQIH HADITS
– Najisnya air liur anjing berdasarkan penegasan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sucinya bejana salah seorang dari kamu apabila dijilat anjing…” Adapun selain air liurnya, seperti badan atau bulunya, (maka) tidak najis, karena hadits di atas tidak menunjukkan najisnya anjing secara mutlak, kecuali air liurnya. Sedangkan menurut kaidah yang disepakati, bahwasannya asal segala sesuatu itu suci sampai datang dalil yang shahih dan tegas yang menyatakannya najis; kalau tidak ada dalil, maka kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci. Inilah madzhab yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari perselisihan para ulama (Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyyah Al Kubra 1/37-38 masalah ke 16).
Adapun madzhab yang mengatakan, bahwa air liur anjing suci tidak najis, adalah madzhab yang batil.
Pertama : Bahwa nash telah datang menegaskan, bahwa air liur anjing itu najis. Maka menurut kaidah yang telah disepakat “apabila nash telah datang, maka batallah segala pendapat”. Mereka yang mengatakan, bahwa air liur anjing itu tidak najis, (maka) secara terang-terangan telah melawan nash dengan pendapatnya, sehingga batallah pendapatnya. Karena dalil menegaskan: Sucinya bejana kamu yang dijilat oleh anjing, dicuci sebanyak tujuh kali dan yang pertama dicampur dengan tanah. Lafazh “suci” merupakan lawan bagi “najis”.
Kedua: Sebagian dari mereka berdalil tentang sucinya air liur anjing dengan anjing yang dipakai untuk berburu yang menangkap binatang buruannya, yang tentu saja tidak selamat dari gigitan dan air liurnya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan najisnya dan memerintahkan mencucinya, padahal air liur anjing buruan itu telah mengenai binatang buruannya; bukankah ini menjelaskan kepada kita, bahwa air liur anjing itu tidak najis?
Saya jawab: Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,”Sesungguhnya air liur anjing, apabila mengenai binatang buruan tidak wajib mencucinya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan seseorang pun juga untuk mencucinya. Sesungguhnya beliau telah memaafkan dari air liur anjing pada tempat yang dibutuhkan dan memerintahkan untuk mencucinya pada tempat yang tidak dibutuhkan. Yang menunjukkan, bahwa pembuat syari’at tetap memelihara kemaslahatan makhluk dan kebutuhan mereka.” (Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyyah Al Kubra 1/39, masalah ke 16 dengan ringkas).
– Kewajiban mencuci bejana yang dijilat oleh anjing sebanyak tujuh kali, dan yang pertama dicampur dengan tanah. Dan tanah, tidak bisa diganti dengan sabun atau yang semacamnya; karena ini merupakan sifat ta’abbudiyah (peribadatan).
– Kewajiban membuang air di dalam bejana yang dijilat oleh anjing.
– Lafazh “walagha” menunjukkan, bahwa jilatan anjing yang wajib dicuci sebanyak tujuh kali, dan yang pertama dengan tanah, hanya terbatas pada benda cair. Adapun kalau yang dijilat itu bukan benda cair, seperti badan atau pakaian, maka dicuci saja sampai bersih karena najisnya.
– Disukai mencuci bejana yang dijilat oleh kucing satu kali, karena pada hakikatnya air liur kucing itu tidak najis, sebagaimana dijelaskan oleh hadits selanjutnya.
وَعَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قَالَ -في الهِرَّةِ-: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إنّمَا هِيَ مِنْ لطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ. أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
13. Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang kucing, “Sesungguhnya kucing itu tidak najis, hanyasanya kucing itu binatang yang biasa hidup di sekelilingmu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud; Tirmidzi, Nasa-i, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah).
TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 75); Tirmidzi (no. 92); Nasa’i (1/55,178); Ibnu Majah (no. 367); Ahmad (5/303,309); Ibnu Khuzaimah (no. 104), dan lain-lain banyak sekali, sebagaimana telah saya luaskan takhrijnya di kitab yang lain (Takhrij Sunan Abu Dawud no. 75).
Hadits ini telah dishahihkan oleh para imam ahli hadits, diantaranya: Imam Malik, Syafi’i, Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daruquthni, Hakim, Baihaqi, Al Baghawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar dan lain-lain. Selain itu, hadits ini telah mempunyai beberapa jalan (thuruq) dan beberapa pembantunya (syawahid), diantaranya dari jalan Aisyah yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (no: 76) dengan sanad yang lemah.
FIQIH HADITS
– Kucing, air liur dan zatnya tidak najis.
– Disukai bagi kita dari sisi kebersihan, untuk mencuci bejana yang berisi air yang dijilat oleh kucing sebanyak satu kali.
– Ketetapan atau ketentuan, bahwa suatu benda itu dikatakan najis, harus ada keterangan yang shahih dan tegas dari Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Kucing adalah binatang yang selalu berkeliling atau berada di tengan-tengah kita.
– Air yang telah dijilat oleh kucing tetap suci dan mensucikan, dan dapat dipakai untuk menghilangkan hadats kecil maupun besar dan (juga untuk) berwudhu.
وَعَنْ أنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِيْ طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم بذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتّفَقٌ علَيْهِ.
14. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Seorang Arab gunung datang (ke masjid), maka ia pun kencing pada salah satu pojok masjid, sehingga para sahabat membentak dan berusaha mencegahnya. Akan tetapi, Nabi n melarang mereka. Setelah orang itu selesai kencing, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan seember air, dan menyiramkannya ke bekas kencingnya tadi.” (Muttafaq ‘alaihi).
TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari (1/61,62 dan 7/80) dan Muslim (1/163) dan lain-lain. Yang dibawakan oleh Al Hafizh salah satu dari lafazh Bukhari, hanya saja di situ tertulis “فَلَمَّا قَضَىْ”, dan dalam riwayat Muslim lafazhnya sebagai bertikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَبْنَمَا نَحْنُ فِيْ الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُوْلُ فِيْ الْمَسْجِدِ قَالَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَهْ مَهْ! قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُزْرِمُوْهُ دَعُوْهُ، فَتَرَكُوْهُ حَتَّى بَالَ. ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ القَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَ الصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ –اَوْكَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلاً مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ.
Dari Anas bin Malik, ia berkata: Ketika kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah n , tiba-tiba datang seorang Arab gunung, lalu ia berdiri kencing di masjid. Maka para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera membentaknya,”Hai-hai,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya,”Jangan kamu putuskan ia. Biarkanlah ia (menyelesaikan kencingnya).” Lalu mereka membiarkannya sampai ia selesai kencing. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, lalu beliau bersabda kepadanya,”Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak boleh untuk sesuatupun, dari kencing ini dan tidak juga untuk kotoran. Hanya saja masjid-masjid ini untuk dzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Quran.” Berkata Anas,”Kurang lebih, begitulah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.” Berkata Anas,”Kemudian beliau memerintahkan salah seorang dari mereka (mengambil air), lalu ia datang mengambil seember air, kemudian menyiramkannya, sekaligus untuk membersihkan kencing tersebut.
Hadits ini mempunyai beberapa syawahid sebagaimana telah saya turunkan di takhrij Sunan Abi Dawud (no. 380), diantaranya dari jalan Abu Hurairah yang telah diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Pada bagian akhir, Rasulullah n bersabda kepada para sahabat, menasihati mereka:
فَإِنَّمَا بُعِثْـتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
Hanyasanya kamu diutus untuk memudahkan, dan kamu tidak diutus untuk mempersukar.
Dan dalam salah satu riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي دِيْنِكُمْ يُسْرٌ
Sesungguhnya dalam agama kamu ini terdapat kemudahan.
Dan di dalam riwayat Ibnu Majah dan lain-lain dijelaskan:
فَقَالَ الأَعْرَابِيُّ بَعْدَ أَنْ فَقِهَ : فَقَامَ إِلَيَّ بِأَبِيْ وَأُمِّيْ فَلَمْ يُؤَنِّبْ وَلَمْ يَسُبَّ، فَقَالَ: إِنَّ هَذَا الْمَسْجِدَ لاَ يُبَالُ فِيْهِ وَإِنَّمَا بُنِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَ لِلصًّلاَةِ…
Berkata Arab desa itu sesudah ia faham,”Lalu beliau berdiri kepadaku, maka beliau tidak mencela dan mencaci(ku), maka beliau bersabda: Sesungguhnya masjid ini tidak untuk dikencingi, hanyasanya ia dibangun untuk dzikir kepada Allah dan untuk shalat … … ”
FIQIH HADITS
– Najisnya air kencing manusia, selain apa yang telah dikecualikan oleh syara’. Yaitu air kencingnya bayi laki-laki yang belum memakan sesuatu, kecuali air susu ibu (asi), maka cukup dipercikkan kepadanya dengan air, sebagaimana dijelaskan di hadits (no. 33).
– Membersihkan atau menghilangkan najis dengan air.
– Memberi udzur kepada orang yang jahil atau orang yang belum mengetahui hukum, kemudian mengajarkannya dengan baik sehingga orang tersebut faham.
– Bahwa orang yang jahil tidak terkena hukuman, sampai ia mengetahui dan faham.
– Bahwa yang namanya ilmu, ialah faham sesudah tahu. Karena, adakalanya seseorang itu mengetahui sesuatu, tetapi ia tidak faham maksudnya.
– Bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang jahil.
– Mengajarkan kepada orang-orang yang jahil berkaitan hukum-hukum agama, dengan cara yang mudah dimengerti dan difahami mereka.
– Kelembutan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajari orang-orang yang bodoh.
– Kesabaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi orang-orang yang bodoh.
– Kaidah ushul: “Apabila kita berhadapan dengan dua mudharat (bahaya) dan salah satunya harus dikerjakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil dari dua bahaya tersebut”. Ketika orang desa itu kencing di salah satu bagian masjid, maka itu satu bahaya. Akan tetapi, akan lebih besar lagi bahayanya kalau orang yang sedang kencing itu langsung dicegah atau dihentikan. Diantara bahaya yang lebih besar, jika dibandingkan dengan membiarkannya kencing sampai selesai ialah:
Pertama, akan menyakitkan orang itu.
Kedua, air kencingnya akan mengenai orang-orang yang mencegahnya.
Ketiga, air kencingnya juga akan mengenai tempat-tempat yang lain.
Keempat, akan memberatkan orang itu, padahal agama Islam itu mudah dan memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia.
Kelima, membuka pintu bagi orang tersebut untuk membenci Islam, kaum muslimin dan Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam, terputusnya da’wah dan ilmu.
Ketujuh, membiarkan orang-orang yang bodoh di dalam kebodohannya tanpa pengajaran yang baik, kecuali bentakan dan hardikan.
Kedelapan, timbulnya satu kekerasan tanpa sebab yang dibenarkan oleh agama.
Kesembilan, hilangnya kesabaran dan kelembutan dalam berda’wah.
Kesepuluh, membuat manusia lari dari Islam.
Kesebelas, tertutup bagi manusia untuk melihat akhlak Islam yang mulia dan akhlak Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Kaidah ushul dalam mencegah atau melarang kemungkaran.
Para ulama telah menjelaskan, bahwa dalam melarang atau mencegah kemungkaran ada empat martabat (tingkatan).
Pertama, hilangnya kemungkaran. Dan inilah yang diperintah dan menjadi maksud atau tujuan dari melarang kemungkaran.
Kedua, memperkecil kemungkaran yang terjadi. Dan ini pun diperintahkan dan masuk dalam tujuan mencegah kemungkaran.
Ketiga, timbul kemungkaran yang sama atau sebanding dengannya. Hal ini masih diperselisihkan oleh para ulama tentang boleh atau tidaknya.
Keempat, timbul kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang pertama. Dalam keadaan seperti ini, para ulama sepakat tentang haramnya untuk mencegah kemungkaran yang pertama, karena dapat berakibat akan timbul kemungkaran yang lebih besar, yang pada hakikatnya orang yang mencegah kemungkaran yang pertama itu telah membuat kemungkaran kedua yang lebih besar. Kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan para sahabatnya langsung mencegah Arab gunung yang sedang kencing itu, tentu akan timbul kemungkaran yang lebih besar.
– Bahwa berda’wah itu harus dengan ilmu.
– Bahwa seorang da’i harus mengetahui mad’u-nya (orang yang akan didakwahinya).
– Bahwa Islam itu merupakan agama yang mudah dan memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia.
– Larangan mempersulit dan memberatkan manusia dalam beragama.
– Bahwa masjid harus bersih dan suci dari najis dan kotoran.
– Bahwa para sahabat diutus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan da’wah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: “أُحِلّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا المَيْتَتَانِ: الْجَرَادُ وَالحُوْتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطَّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيْهِ ضَعْفٌ.
15. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah: (bangkai) belalang dan ikan, dan dua macam darah adalah limpa dan hati.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dan di dalam sanadnya terdapat kelemahan).
TAKHRIJUL HADITS
Riwayat Ahmad (2/97) dan Ibnu Majah (no. 3314) dan lain-lain secara marfu’, akan tetapi sanadnya dhaif karena hanya diriwayatkan oleh anak-anak Zaid bin Aslam yaitu: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Abdullah bin Zaid bin Aslam dan Usamah bin Zaid bin Aslam.
Mereka ini, semuanya merupakan rawi-rawi dha’if yang meriwayatkan hadits di atas dari bapak mereka, yaitu Zaid bin Aslam, dari Ibnu Umar, marfu’.
Kemudian Baihaqi (1/254) meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahb (ia berkata),”Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal, dari Zaid bin Aslam, dari Abdullah bin Umar, mauquf.”
Berkata Baihaqi,”Isnadnya shahih, sedangkan maknanya musnad (terhukum marfu’) dan juga telah dimarfu’kan oleh anak-anak Zaid (bin Aslam) dari bapak mereka.”
Kesimpulannya, hadits di atas dengan sanad yang marfu’, dha’if. Sedangkan dengan sanad yang mauquf, shahih. Akan tetapi, hukumnya marfu’. Hadits di atas masuk ke dalam istilah mauquf lafazhnya, marfu’ hukumnya.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً. وَفِي الآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُوْ دَاوُدَ. وَزَادَ: وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِيْ فِيْهِ الدَّاءُ.
16. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apabila lalat jatuh pada minuman kamu, maka hendaklah ia celupkan lalat itu, lalu keluarkan dan buanglah lalat tersebut, karena pada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap yang lainnya ada penawarnya (obat).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud).
Dan Abu Dawud menambahkan: Bahwasanya lalat itu selalu menjaga dirinya dengan sayapnya yang ada penyakitnya.
TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Dikeluarkan oleh Bukhari (no.3320. 5782) dan lain-lain. Dalam salah satu riwayat Bukhari:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً
Apabila lalat hinggap di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia celupkan semuanya, kemudian hendaklah ia membuangnya, karena sesungguhnya pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat penyakit, sedangkan pada sayap yang lain terdapat obatnya.
Adapun riwayat Abu Dawud (no. 3844) dengan lafazh:
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَامْقُلُوْهُ، فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِيْ الآخَرِ شِفَاءً وَإِنَّهُ يَتَّقِيْ بِجَنَاحَيْهِ الَّذِيْ فِيْهِ الدَّاءُ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ.
Apabila lalat hinggap di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah kamu mencelupkannya, karena sesungguhnya pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat penyakit, sedangkan pada sayap(nya) yang lain terdapat obat (penawarnya). Dan sesungguhnya ia menjaga dirinya dengan sayapnya yang ada penyakitnya, maka celupkanlah semuanya.
Sanad hadits ini hasan. Karena Muhammad bin Ajlan yang ada dalam sanad hadits ini seorang rawi yang derajat haditsnya hasan.
FIQIH HADITS
– Kaidah “hukum asal segala suatu benda atau zat itu suci sampai datang dalil shahih yang menegaskan najisnya”. Apabila tidak ada dalil, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu suci.
– Bolehnya membunuh lalat dan lain-lain yang membahayakan dan kotor, seperti nyamuk.
– Disyari’atkannya berobat dari penyakit, tidak hanya tawakkal semata. Akan tetapi berobatlah, kemudian bertawakkal kepada Allah.
– Bahwa Allah yang menciptakan dan menurunkan penyakit, dan demikian pula dengan obatnya.
– Bahwa penyakit dan obatnya Allah diturunkan secara bersamaan.
– Bahwa setiap penyakit itu ada obatnya.
– Bahwa Allah yang menyembuhkan penyakit.
– Bahwa seseorang harus menjalani sebab-sebab syar’i yang telah ditentukan Allah, dengan tidak menghilangkan tawakkal. Seperti berobat ketika sakit dengan obat dan cara pengobatan yang dibenarkan oleh syara’.
– Bahwa taqdir wajib ditolak atau dilawan dengan taqdir juga. Penyakit adalah taqdir, maka lawanlah dengan taqdir juga, yaitu berobat. Karena penyakit dan obatnya, Allah yang menurunkan keduanya kepada manusia. Seperti lapar dan haus adalah taqdir, maka lawanlah dengan taqdir juga, yaitu makan dan minum. (Jawabul Kafi, hlm. 26-32 oleh Imam Ibnul Qayyim).
– Mu’jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai salah satu bukti atau tanda dari tanda-tanda kenabian dan kerasulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kita, bahwa pada kedua sayap lalat terdapat penyakit dan obatnya (penawarnya).
– Kaidah “bahwa yang menjadi asas di dalam Islam adalah wahyu (Al Qur’an dan Sunnah), sedangkan akal mengikutinya atau sebagai pembantunya, bukan sebaliknya sebagaimana pemahaman yang sesat dan menyesatkan dari Mu’tazilah, Falasifah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan lain-lain yang mendahulukan akal daripada wahyu”.
وَعَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ -وَهِيَ حَيّةٌ- فَهُوَ مَيِّتٌ. أَخْرَجَهُ أََبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذيُّ وَحَسّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ
17. Dari Abu Waaqid Al Laitsi Radhiyallahu ‘anh, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Apa saja yang dipotong dari hewan yang masih hidup, maka bagian yang dipotong itu menjadi bangkai.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan, dan (demikian) ini lafazhnya.
TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2858), At Tirmidzi (no. 1480) dan Ahmad (5/218), semuanya dari jalan Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha bin Yasar, dari Abi Waqid (seperti di atas).
Dalam riwayat Tirmidzi dan Ahmad, Abu Waqid menjelaskan: Bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, mereka biasa memotong buntut-buntut kambing dan punuk-punuk onta (yang masih hidup), kemudian Rasulullah n bersabda seperti di atas.
Sanad hadits ini hasan, karena Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar seorang rawi yang benar, akan tetapi terdapat kelemahan di dalam hafalannya; yang menurut Al Hafizh dalam Taqrib-nya diistilahkan sebagai “shaduqun yukhthi’u” (orang yang benar, tetapi suka salah). Rawi yang seperti ini haditsnya tidak turun dari derajat hasan. Sedangkan hadits di atas, apabila ditinjau dari jurusan matannya shahih, karena telah ada syawahid dari beberapa orang sahabat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Shan’ani di Subulus Salam dan Al Albani di Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5528).
FIQIH HADITS
– Bagian yang dipotong dari binatang yang hidup, masuk ke dalam hukum bangkai dan hukumnya haram.
– Hadits ini dikeluarkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar untuk menjelaskan tentang najisnya bangkai.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VII/1424H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2902-bab-bejana-bejana-12-17.html